Kamis, 23 Mei 2013

“Metode Etnografi"



Metode etnografi dalam konteks antropologi, adalah penelitian yang menganalisis bagaimana manusia membangun komunitas dan pola kebudayaannya masing-masing, dalam bentuk dan performa yang berbeda-beda. Etnografi (field work) sering digunakan sebagai acuan dalam penelitian antropologi, yaitu melalui metode partisipasi (pendekatan) dengan melibatkan peneliti secara langsung ke dalam masyarakat yang diteliti/dianalisis dengan cara wawancara mendalam (indept interview) yang akan mempermudah mendapatkan informasi/data-data yang dibutuhkan.
Persiapan Sebelum ke Lapangan Penelitian
Untuk menentukan berhasil tidaknya sebuah penelitian ada beberapa persiapan yang perlu dilakukan peneliti yaitu, persiapan lahiriah dan batiniah yaitu persyaratan mutlak peneliti, ini dikarenakan mobilitas peneliti yang tinggi mulai dari persiapan, perjalanan, dan ketika di lapangan akan sangat menguras tenaga. Selain itu persiapan psikis/batiniah peneliti akan kepercayaan terhadap Tuhan, ideologi, keyakinan pribadi dan pola pikir perlu dijaga ketika masuk di lapangan karena peneliti akan menghadapi kultur dan keyakinan yang berbeda-beda di wilayah penelitian. Dan yang tak kalah penting persiapan property yaitu, print out guide lines (acuan umum penelitian), daftar pertanyaan, alat tulis (pensil, bulpoint, field not, recorder, audio video, laptop, kamera,dll.
Strategi/ Metode Etnografi di Lapangan
Metode Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan sebuah kebudayaan. Tujuannya untuk memahami pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (native’s point of view). Cara kerjanya dengan melakukan riset kualitatif. (Spradley).
Dalam penelitian etnografi peneliti menggunakan cara kerja/metode:
-          Native’ point of view, yaitu pengamatan untuk mendapatkan pandangan masyarakat setempat mengenai apa yang menjadi subjek kajian peneliti, serta bagaimana mereka menerapkan dan menghayati hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
-          Perpektif Emik, yaitu suatu gambaran mengenai pandangan/keyakinan/perilaku (baik yang disadari/tidak) yang bermakna menurut pelaku (dari sudut pandang masyarakat yang diteliti)
-          Perspektif Etik, yaitu suatu gambaran mengenai pandangan/keyakinan/perilaku yang dilakukan oleh peneliti (sudut pandang peneliti)
Eksekusi Hasil Penelitian
Data-data yang didapatkan dari lapangan kemudian dianalisis baik dikaitkan dengan landasan teori maupun konteks apapun itu sesuai dengan tujuan penelitian. Kemudian data sekunder digunakan untuk mem-back up data primer yang diperoleh di lapangan secara komprehensif dan mendalam.

GAYA HIDUP MASYARAKAT INDIS



      Rumah Tangga dan Rumah Tinggal Indis
Pada awal kedatangan Belanda di Jawa rumah tempat tinggal orang Eropa di dalm Kastil Batavia mempunyai susunan tersendiri yang secara umum mirip dengan yang terdapat di negeri asalnya. Sementara itu, perumahan yang berada di luar Kota Kastil Batavia yang disebut dengan pesanggrahan atau landhuizen dibangun dengan lingkungan nalam Timur, yaitu Pulau Jawa. Adapun hasilnya adalah suatu bentuk campuran, yaitu tipe rumah Belanda dengan rumah Pribumi Jawa.
Pada Masa Abad Ke-18
Sebagai hasil akhir berdirilah rumah-rumah bangunan gaya Indis dalam abad ke-18 sampai dengan runtuhnya pemerintahan kolonial Belanda di bawah pemerintahan balatentara Jepang pada 1942.
Bangunan landhuizen  semula dugunakan oleh orang-orang Belanda sebagai tempat tinggal di luar kota yang kemudian juga didirikan di wilayah baru Batavia (nieuve buurten). Corak bangunan rumah tinggal yang demikian ini mirip dengan rumah para pedagang kaya di kota lama Baarn atau Hilversum, Belanda.
Rumah-rumah Batavia kuno di dalam diding kota lambat laun juga berbeda dengan rumah-rumah Indis yang berkembang di pedalaman Pulau Jawa. Orang  Belanda sangat menguasai dan mencintai karya-karya pertukangan hingga detail-detailnya. Rumah-rumah kuno di daerah Kalibesar Barat, misalnya, dikerjakan oleh tangan para pengrajin Batavia dengan sangat halus da serasi.
Pendirian sebuah bangunan dengan model bangunan rumah Belanda awalnya sangat terkait dengan ciri-ciri nasionalis Belanda. Hal ini dikarenakan merkea membawa seni Belanda, kemudian secara perlahan terpengaruh oleh alam dan masyarakat sekeliling yang sangat asing bagi mereka. Serta melihat dari corak bangunan-bangunan yang dibuat oleh Portugis yang datang lebih awal. Mereka memahami perlunya memperhatikan kesehatan dengan menyesuaikan diri terhadap alam Pulau Jawa. Misalnya, untuk melindungi diri dari panas, dibuat dinding-dinding tembok yang tebal dari batu alam atau batu bara. Untuk menangkal udara basah atau lembab, dibuat tempat tinggal bertingkat tinggi di atas permukaan tanah. Selain itu juga dibuat pula semacam ubin untuk lantai-lantai bangunan gudang atau tempat tinggal para budak.
Pada Masa Abad Ke-19
Bangsa Inggris yang datang pada abad ke-19 ketika menguasai Batavia, juga mengikuti kebiasaan yang dilakukan oleh Belanda. Pada  tahun 1730-an, sepertiga bagian dari daun pintu sebuah bangunan rumah mewah dipahat dengan a’jour relief yang indah. Lubang kunci atau engsel-engselnya diukir sangat halus, seperti tampak pada rumah-rumah tempat tinggal orang Arab. Panel-panel daun pintu dipahat begitu halus. Terdapat ragam hias berupa sulur-sulur tumbuhan berselang-seling dan berbeda-beda. Hal ini dapat digunakan untuk petunjuk bahwa rumah itu adalah milik orang kaya. Bentuk jendela ditutup rotan yang dianyam. Cara ini semula diperoleh dari bangsa Portugis dengan meniru karya orang Pribumi. Orang-orang Portugis juga meniru kebiasaan di Hindia Belanda yaitu menggunakan kulit binatang bertotok (berkulit keras) seperti kura-kura, tiram, dan keong. Hiasan ini dibuat dengan cara digosok, sepereti cara membuat kaca buram sebagai pengganti kaca bening yang sanagat mahal.
Pada tahun 1750 di Batavia terjadi perubahan tren. Mereka mulai menggunakan jendela-jendela yang megah, yaitu jendela yang lebar dan tinggi yang keseluruhannya terdiri atas petak-petak gelas.  Ciri yang menonjol dari rumah-rumah Belanda di Batavia yang selanjutnya diteruskan oleh anak cucunya ialah telundak (stoep) yang lebar di depan rumah. Telundak yang luas tersebut bukan sekedar bagian dari sebuah bangunan rumah tetapi juga mempunyai arti dan kegunaan khusus, yaitu untuk hubungan antartetangga yang pada masa itu mempunyai arti sosial penting.

KEBUDAYAAN JAWA



1.      IDENTIFIKASI
Persebaran kebudayaan Jawa sangat luas, yaitu meliputi seluruh daerah bagian tengan dan timur dari pulau Jawa. Selain itu ada beberapa daerah yang secara kolektif disebut daerah Kejawen. Daerah itu diantaranya Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Sementara untuk daerah di uar itu dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.
Sebelum terpecah pada tahun 1755 Yogyakarta dan Surakarta yang merupakan bekas kerajaan Mataram merupakan daerah pusat kebudayaan Jawa. Menjadi sesuatu yang wajar jika diantara sekian banyak daerah tempat tinggal orang Jawa ini terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat local dalam beberapa unsur-unsur kebudayaannya, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek bahasa dan lain-lainnya.
Di daerah Yogyakarta sebelah selatan terdapat kelompok-kelompok masyarakat orang Jawa yang masih mengikuti atau mendukung kebudayaan Jawa ini. Pada umumnya mereka membentuk kesatyuan-kesatuan hidup setempat yang menetap di desa-desa.
Di dalam pergaulan hidup maupun perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa, dimana ketika mengucapkannya pun seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya. Demikian pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya, yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Krama.

2.      ANGKA-ANGKA DAN FAKTA-FAKTA DEMOGRAFIS
Berdasarkan sensus 1930 jumah penduduk Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura adalah 30.321.000 dengan padat penduduk rata-rata 402 per ; sedangkan ebih dari 30 tahun kemudian, ialah menurut angka-angka sensus 1961, penduduk ketiga daerah tersebut adaah 42.471.000, dengan padat penduduk rata-rata 567 per .
Ditinjau secara khusus jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan (Kabupaten Bantul)  pada tahun 1962 yaitu 504.065 orang dan 152 orang diantaranya adaah orang asing. Jumlah penduduk sebanyak itu terdiri dari 12.472 kepala somah. Dari sekian jumlah penduduk tersebut, 497.358 orang beragama Islam, 6.300 orang memeuk agama Kristen Katholik, dan 256 orang menganut agama Kristen Protestan, sedangkan yang 151 orang lainnya mengikuti aliran-aliran kebatinan setempat.

Teori Dependensi “Dos Santos” (Struktur Ketergantungan)



Teori dependensi lebih memfokuskan diri pada persoalan pembangunan di Dunia Ketiga. Dalam usaha memberikan batasan pengertian klasik tentang “ketergantungan” Dos Santos merumusakan bahwa hubungan dua Negara atau lebih “mengandung bentuk ketergantungan jika beberapa negara (yang dominan) bdapat berkembang dan memiliki otonomi dalam pembangunannya, sementara negara lainnya (yang tergantung) dapat melakukan hal serupa  hanya sekedar merupakan refleksi perkembangan Negara dominan”.
Dos Santos  menyatakan bahwa hubungan antara Negara dominan (dominant countries) dengan negara tergantung (dependent countries) merupakan hubungan yang tidak sederajat (setara), karena pembangunan di Negara dominan terjadi atas biaya yang dibebankan pada negara tergantung.
Disamping memberikan sumbangannya dalam memberikan batasan pengertian “situasi ketergantungan”, Dos Santos juga merumuskan kemungkinan kesejahteraan tiga bentuk utama situasi ketergantungan, yaitu :
1.      Ketergantungan kolonial.
2.      Ketergantungan industri keuangan.
3.      Ketergantungan teknologi industry.
Dalam konteks ini, Dos Santos melihat batasan struktural upaya pembangunan industri di negara Dunia Ketiga, yaitu:
1)      Pembangunan industri akan bergantung pada kemampuan sektor ekspor.
2)      Akibat lebih jauh dari ketergantungan pada perolehan devisa, pembangunan industri di negara Dunia Ketiga akan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi neraca pembayaran internasional, yang cenderung untuk defisit.
Defisit dapat timbul sebagai  akibat lanjutan dari dua sebab yang telah disebut sebelumnya, yakni kebutuhan pembiayaan modal asing, berupa bantuan dan utang modal, untuk menutupi…
3)      Pembangunan industri sangat kuat dipengaruhi oleh monopoli teknologi negara maju.

Rabu, 14 November 2012

INTERAKSI ANTARA SISWA KELAS RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (RSBI) DENGAN SISWA KELAS REGULER DARI KALANGAN ORANG MISKIN DALAM MEMAKNAI SIMBOLITASNYA (STUDI KASUS DI SMA NEGERI 1 BATANG)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan di Indonesia sejatinya adalah untuk semua (education for all). Oleh karena itu harus bisa diikuti oleh seluruh bangsa Indonesia, murah dan berkualitas dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi dalam implementasi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, tidak mewujudkan adanya unsur pemerataan pendidikan. Pendidikan seharusnya mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai sila kelima Pancasila. Sekolah pemerintah yang mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak boleh ada kastanisasi, diskriminasi, dan ketidakadilan, akan tetapi RSBI telah menciptakan ketidakadilan.
Sebagaimana ide awal pendidikan yang hendak mencerahkan tentunya menjadi kontra produktif jika akhirnya sekolah sebagai institusi pendidikan malah menyebabkan segregasi dalam masyarakat. Ini semua membuat siswa dari keluarga kurang mampu pasti berpikir seribu kali untuk masuk ke RSBI. Mereka khawatir tetap akan dikenai pungutan mahal di sekolah itu. Siswa yang kurang dalam hal ekonomi bukan berarti tak mampu secara intelektual untuk mengikuti pelajaran di RSBI. Para pemangku kepentingan hendaknya menghilangkan segregasi sosial yang terdapat di dalam sistem pendidikan kita, dimana RSBI bukanlah ajang untuk komersialisasi pendidikan, melainkan ajang untuk menciptakan SDM Indonesia berkualitas, sehingga dapat memberikan kesempatan kepada semua kalangan masyarakat untuk dapat menikmati sistem RSBI tersebut.
Program RSBI ini telah membuat segregasi yang mengakibatkan terjadinya  diskriminasi pada siswa yang RSBI dan yang non-RSBI dan atau dengan kata lain antara siswa RSBI dengan siswa dari kalangan orang miskin. Program RSBI menjadi begitu elitis dan eksklusif sehingga hanya orang-orang kaya yang bisa mengikutinya karena sekolah memang mengenakan biaya yang tinggi pada pesertanya. Akibatnya siswa yang miskin menjadi tak mampu mengikuti program ini. Adanya kelas RSBI ini dilapangan ternyata telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan.
Sementara itu RSBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi sangat komersial. Komersialisasi pendidikan inilah yang kemudian menyebabkan hanya anak-anak orang kaya saja yang bisa memasuki kelas RSBI tersebut. Pembagian kelas antara siswa RSBI dan non-RSBI menimbulkan segregasi antara siswa kaya pada satu sisi dan siswa miskin di sisi lain. Pemerintah dianggap menciptakan sistem pendidikan yang tidak adil bagi siswa miskin. Dengan kata lain, pendidikan telah menjadi suatu komoditi bagi mereka yang memiliki uang dan mampu untuk membayarnya, dengan konsekuensi akan menikmati pelayanan dan mutu pendidikan, sementara bagi mereka yang tidak mampu membayar pendidikan tidak akan mendapat akses dan pelayanan pendidikan. Semua sistem dan struktur ekonomi kapitalistik telah membuat praktek pendidikan justru melanggengkan kelas sosial dan ketidakadilan sosial.
Penyusunan makalah ini dilatarbelakangi oleh adanya label yang digunakan oleh siswa kelas RSBI dalam penggunaan simbol-simbol dalam interaksi sosial mereka. Pemaknaan tentang label dan alasan tentang label yang melekat pada diri siswa kelas RSBI akan berpengaruh pada penggunaan simbol dalam interaksi sosial mereka, dimana SMA Negeri 1 Batang mempunyai siswa dengan latar belakang  yang berbeda-beda yang menyebabkan terjadinya pembagian kelas diantara mereka, yakni seperti terdapatnya kelas RSBI ini.

THEORIES OF RELIGION


THEORIES OF RELIGION
Apply (sociologists apply the major theoretical approaches to the study of religion just as they do to any other topic. Each approach provides distinctive insights into the way religion shapes social life)
Functions of Religion: Structural- Functional Anlysis
According to Durkheim (1965, orig. 1915), society has a life and power of its own beyond the life of any individual. In other words, society itself is godlike, shaping the lives of its members and living on beyond them. Practicing religion, people celebrate the awesome power of their society.
No wonder people around the world transform certain everyday objects into sacred symbols of their collective life. Members of technologically simple societies do this with a totem, an object in the natural world collectively defined as sacred. The totem- perhaps an animal or an elaborate work of art- becomes the centerpiece of ritual, symbolizing the power of society over the individual. In our society, the flag is treated with respect and is not used in a profane way (say, as clothing) or allowed to touch the ground.
Similarly, putting the words “In God We Trust” on U.S. currency (a practice started in the 1860s at the time of the Civil War) or adding the words “under God” to the Pledge of Allegiance (in 1954) symbolizes some widespread beliefs that tie society together. Across the United States, local communities also gain a sense of unity by linking totems to sports teams, from the New England Patriots to the Iowa State University Cyclones to the San Francisco 49ers. Durkheim identified three major functions of religion that con tribute to the operation of society:
1.      Establishing social cohesion. Religion unites people through shared symbolism, values, and norms. Religious thought and ritual establish rules of fair play, organizing our social life.
2.      Promoting social control. Every societying God as a “judge,” many religions encouragepeople to obey cultural norms. Religion can also be used to back up the power of political systems. In medieval Europe, for example, monarchs claimed to rule by “divine right,” so that obedience was seen as doing God’s will. Even today, our leaders ask for God’s blessing, implying that their offorts are right and just.
3.      Providing meaning and purpose. Religious belief offers the comforting sense that our brief lives serve some greater purpose. Strengthened by such beliefs, people are less likely to despair in the face of change or even tragedy. For this reason, we mark major life course transitions – including birth, marriage, and death- with religious observances.