BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan di Indonesia sejatinya adalah untuk semua (education for all). Oleh karena itu
harus bisa diikuti oleh seluruh bangsa Indonesia, murah dan berkualitas dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Akan tetapi dalam implementasi Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional, tidak mewujudkan adanya unsur pemerataan pendidikan. Pendidikan seharusnya
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai sila kelima Pancasila.
Sekolah pemerintah yang mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak boleh ada
kastanisasi, diskriminasi, dan ketidakadilan, akan tetapi RSBI telah
menciptakan ketidakadilan.
Sebagaimana ide
awal pendidikan yang hendak mencerahkan tentunya menjadi kontra produktif jika
akhirnya sekolah sebagai institusi pendidikan malah menyebabkan segregasi dalam
masyarakat. Ini semua membuat siswa dari keluarga kurang mampu pasti berpikir
seribu kali untuk masuk ke RSBI. Mereka khawatir tetap akan dikenai pungutan
mahal di sekolah itu. Siswa yang kurang dalam hal ekonomi bukan berarti tak
mampu secara intelektual untuk mengikuti pelajaran di RSBI. Para pemangku
kepentingan hendaknya menghilangkan segregasi sosial yang terdapat di dalam
sistem pendidikan kita, dimana RSBI bukanlah ajang untuk komersialisasi
pendidikan, melainkan ajang untuk menciptakan SDM Indonesia berkualitas,
sehingga dapat memberikan kesempatan kepada semua kalangan masyarakat untuk
dapat menikmati sistem RSBI tersebut.
Program RSBI ini
telah membuat segregasi yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi pada siswa yang RSBI dan yang
non-RSBI dan atau dengan kata lain antara siswa RSBI dengan siswa dari kalangan
orang miskin. Program RSBI menjadi begitu elitis dan eksklusif sehingga hanya
orang-orang kaya yang bisa mengikutinya karena sekolah memang mengenakan biaya
yang tinggi pada pesertanya. Akibatnya siswa yang miskin menjadi tak mampu
mengikuti program ini. Adanya kelas RSBI ini dilapangan ternyata
telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan.
Sementara itu RSBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah
publik menjadi sangat komersial. Komersialisasi pendidikan inilah yang kemudian
menyebabkan hanya anak-anak orang kaya saja yang bisa memasuki kelas RSBI
tersebut. Pembagian kelas antara siswa RSBI dan non-RSBI menimbulkan segregasi
antara siswa kaya pada satu sisi dan siswa miskin di sisi lain. Pemerintah
dianggap menciptakan sistem pendidikan yang tidak adil bagi siswa miskin. Dengan kata lain, pendidikan telah menjadi
suatu komoditi bagi mereka yang memiliki uang dan mampu untuk membayarnya, dengan
konsekuensi akan menikmati pelayanan dan mutu pendidikan, sementara bagi mereka
yang tidak mampu membayar pendidikan tidak akan mendapat akses dan pelayanan
pendidikan. Semua sistem dan struktur ekonomi kapitalistik telah membuat
praktek pendidikan justru melanggengkan kelas sosial dan ketidakadilan sosial.
Penyusunan makalah
ini dilatarbelakangi oleh adanya label yang digunakan oleh siswa kelas RSBI
dalam penggunaan simbol-simbol dalam interaksi sosial mereka. Pemaknaan tentang
label dan alasan tentang label yang melekat pada diri siswa kelas RSBI akan
berpengaruh pada penggunaan simbol dalam interaksi sosial mereka, dimana SMA
Negeri 1 Batang mempunyai siswa dengan latar belakang yang berbeda-beda yang menyebabkan terjadinya
pembagian kelas diantara mereka, yakni seperti terdapatnya kelas RSBI ini.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka fokus permasalahan yang akan yang menjadi pusat perhatian adalah sebagai
berikut :
1.
Simbol-simbol
sosial apa sajakah yang digunakan oleh siswa RSBI untuk berinteraksi dengan
siswa reguler di SMA Negeri I Batang?
2.
Bagaimanakah
pemaknaan simbol interaksi tersebut dan kaitannya dengan status sosial dan
bagaimanakah simbol tersebut mempengaruhi interaksi di kalangan siswa SMA
Negeri I Batang?
3.
Bagaimanakah
struktur sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial yang terjadi di
kalangan siswa kelas RSBI dengan kelas reguler di SMA Negeri I Batang?
C. Tujuan
Tujuan dari konsep pemikiran tentang posisi orang miskin
di RSBI ini dilakukan dengan tujuan, antara lain:
1.
Untuk
mengetahui simbol-simbol sosial apa sajakah yang digunakan oleh siswa RSBI
untuk berinteraksi dengan siswa reguler di SMA Negeri I Batang.
2.
Untuk
mengetahui pemaknaan simbol interaksi tersebut dan kaitannya dengan status
sosial dan bagaimanakah simbol tersebut mempengaruhi interaksi di kalangan
siswa SMA Negeri I Batang.
3.
Untuk
mengetahui struktur sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial yang terjadi
di kalangan siswa kelas RSBI dengan kelas reguler di SMA Negeri I Batang.
D. Manfaat
Konsep pemikiran ini dilakukan dengan manfaat secara
praktis pemikiran tentang RSBI, yaitu hasil pemikiran ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan yang positif berupa:
1.
Bagi
Dinas Pendidikan Kota Batang, sebagai bahan masukan sehingga dalam mengambil
kebijakan akan dapat mendukung dan memfasilitasi demi suksesnya pelaksanaan
program RSBI pada tahun-tahun mendatang terhadap nasib siswa miskin yang
berprestasi menjadi fokus perhatian yang serius.
2.
Bagi
sekolah yang melaksanakan RSBI, sebagai bahan kajian untuk dapat melaksanakan
RSBI tersebut secara lebih baik lagi dalam menerima siswa miskin yang
berprestasi.
3.
Bagi
para guru, akan memberikan langkah awal dan arah yang jelas dalam kesiapannya
menghadapi pelaksanaan program RSBI terhadap siswa miskin yang berprestasi.
BAB II
STRATEGI KONSEPTUAL
A. Pengertian
RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasioanl)
Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah yang
memenuhi seluruh standar nasional pendidikan serta mempunyai keunggulan yang
merujuk pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD (Organization
for Economic Co-operation and Development) dan atau negara maju lainnya
yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki
daya saing di forum internasional (Antoro,2010).
Indikator daya saing di forum internasional dalam bidang
pendidikan khususnya yaitu kemampuan dan daya saing lulusan di forum
internasional sebagaimana dijelaskan undang undang sistem pendidikan nasional
(UU SPN) pada ayat (1) yaitu ditunjukan dengan: (1) Diterima pada satuan
pendidikan bertaraf internasional di dalam negeri atau satuan pendidikan di
luar negeri yang terakreditasi atau yang diakui oleh negaranya; (2) Lulus
sertifikasi internasional yang dikeluarkan oleh negara lain yang memiliki
keunggulan tertentu dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; (3) Diterima
bekerja pada lembaga internasional atau negara lain, dan atau; (5) Mampu
berperan aktif dan berkomunikasi langsung.
B. Tujuan
Program RSBI
Ada beberapa tujuan dari dibuatnya program sekolah RSBI
ini yaitu tujuan umum dan tujuan khusus,
1.
Tujuan
Umum
a.
Meningkatkan
kualitas pendidikan nasional sesuai dengan amanat Tujuan Nasional dalam
Pembukaan UUD 1945, pasal 31 UUD 1945, UU No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS,
PP No.19 tahun 2005 tentang SNP (Standar Nasional Pendidikan), dan UU No.17
tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang menetapkan
Tahapan Skala Prioritas Utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-1
tahun 2005-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap
pelayanan pendidikan
b.
Memberi
peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas bertaraf nasional
dan internasional.
c.
Menyiapkan
lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global.
2.
Tujuan
Khusus
Menyiapkan
lulusan yang memiliki kompetensi yang tercantum di dalam Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) yang diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri
internasional. RSBI adalah sekolah yang berbudaya Indonesia, karena
Kurikulumnya ditujukan untuk pencapaian indikator kinerja kunci minimal sebagai
berikut: (Hartoyo,2008a). (1) Menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP); (2) Menerapkan sistem satuan kredit semester di SMA/SMK/MA/MAK; (3) Memenuhi
Standar Isi; dan (4) Memenuhi Standar Kompetensi Lulusan.
C. Konsep
Sekolah Bertaraf Internasional
Seperti dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) tahun 2007 tentang Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah
Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa
Sekolah Bertaraf Internasional merupakan Sekolah yang sudah memenuhi seluruh
Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar
pendidikan salah satu negara anggota OECD (Organization for Economic
Co-operation and Development) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai
keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di
forum internasional.
Dengan konsepsi ini, RSBI adalah sekolah yang sudah
memenuhi dan melaksanakan standar nasional pendidikan yang meliputi: standar
isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, dan standar penilaian. Selanjutnya, aspek-aspek standar nasional
pendidikan (SNP) tersebut diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam,
diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu
anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan
tertentu dalam bidang pendidikan serta diyakini telah memiliki reputasi mutu
yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya
saing internasional.
Untuk dapat memenuhi karakteristik dan konsepsi RSBI
tersebut, maka sekolah dapat melakukan minimal dengan dua cara, yaitu: (1)
adaptasi, yaitu penyesuaian unsurunsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan
mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara
maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan,
diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta
lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional; dan (2) adopsi, yaitu
penambahan unsur-unsur tertentu yang belum ada dalam SNP dengan mengacu pada
standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya
yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah
memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya
memiliki kemampuan daya saing internasional.
D. Karakteristik
RSBI
Pada dasarnya sekolah yang telah bertaraf internasional
harus memiliki keunggulan yang ditunjukkan oleh pengakuan internasional
terhadap proses dan hasil pendidikan dalam berbagai aspek. Pengakuan tersebut
dibuktikan dengan sertifikasi berpredikat baik dari salah satu anggota OECD dan/atau
negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan,
diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta
lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dalam konteks di
Indonesia, lulusan SBI diharapkan, selain menguasai SNP Indonesia, juga
menguasai kemampuan-kemampuan kunci global agar setara dengan rekannya dari
negara-negara maju tersebut (PP No.19,2005).
Apabila mengacu pada visi pendidikan nasional, maka
karakteristik visi RSBI adalah terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan
kompetitif secara internasional. Visi tersebut memiliki implikasi bahwa
penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upaya-upaya yang dilakukan
secara intensif, terarah, terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan
bangsa yang maju, sejahtera, damai, dihormati, dan diperhitungkan oleh
bangsa-bangsa lain. Maka dari itu misi RSBI adalah mewujudkan manusia Indonesia
cerdas dan kompetitif secara internasional, yang mampu bersaing dan
berkolaborasi secara global.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
RSBI
Secara Nasional
Pemerintah sendiri sudah menghentikan pemberian izin baru
RSBI mulai tahun ini. Kini, pemerintah mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK
berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010. Pemerintah juga sedang
menyiapkan aturan baru soal standar RSBI/SBI di Indonesia. Dari kajian sementara,
pendanaan RSBI sebagian besar ditanggung orangtua dan pemerintah pusat.
Dukungan pendanaan dari pemerintah daerah justru minim (Permen No.78,2007).
RSBI pun sebagian besar siswanya dari kalangan kaya. Ini
disebabkan biaya masuk untuk SMP dan SMA RSBI yang relatif mahal. Di sisi lain,
alokasi 20 persen untuk siswa miskin yang mendapat beasiswa juga tidak dipenuhi
RSBI. Dari kajian sementara juga terungkap, dana yang dimiliki RSBI sekitar 50
persennya dialokasikan untuk sarana dan prasarana, sekitar 20 persen untuk
pengembangan dan kesejahteraan guru, serta manajemen sekolah berkisar 10 persen
(Hartoyo,2007).
Di sisi lain, kemampuan bahasa Inggris guru juga masih
belum memadai. Kajian pada tahun 2008, sekitar 50 persen guru di RSBI ada di level novice (10-250). Sementara untuk
guru Matematika dan Sains kemampuan di level terendah notice dan elementary.
Hanya kemampuan guru pengajar bahasa Inggris di RSBI yang memenuhi syarat di
level intermediate ke atas. Kemampuan
bahasa Inggris kepala sekolah RSBI sekitar 51 persen berada di level terendah
(Hartoyo,2005).
Hal paling pokok perlu diperhatikan pemerintah adalah
tatanan peraturan dan landasan berpikir untuk menjalankan program RSBI yang
memang belum kokoh. Sampai saat ini, permasalahan RSBI masih memperdebat soal
penggunaan bahasa Inggris dan hal-hal teknis. Memang ada penegasan, bahwa hanya
orang tua siswa yang mampu yang diperbolehkan dibebani biaya, tetapi pada
praktiknya sangat disayangkan hal tersebut tidak berjalan dengan baik. Dengan
alasan yang halus sampai ultimatum yang tidak menyenangkan bagi orang tua siswa
yang kurang mampu sangat dimungkinkan banyak terjadi menimpa mereka.
B.
Implementasi
Sistem RSBI di SMA Negeri 1 Batang
Program RSBI ini di
lapangan ternyata menciptakan kesenjangan sosial pada siswa. Program RSBI
menjadikan sekolah yang menerapkan sistem tersebut, salah satunya di SMA Negeri
1 Batang, menjadi eksklusif dan
menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan
menengah ke atas. Tingginya pembiayaan yang dikenakan pada orang tua siswa
membuat SMA Negeri 1 Batang menjadi semakin sulit untuk dimasuki oleh anak-anak
dari kalangan bawah, sehingga memgakibatkan kesenjangan sosial di sekolah,
dimana siswa kelas RSBI Plus ini merasa seperti kelompok elit yang berbeda dengan
siswa kelas reguler. Pelaksanaan kelas RSBI berdampak pada terjadinya
pengelompokan diantara para siswa, dan pengelompokan tersebut menimbulkan
terbentuknya segregasi dalam sistem pendidikan di Negara kita, dimana seperti
yang terjadi di SMA Negeri 1 Batang, yakni terpisahnya siswa menjadi dua
kelompok yaitu siswa RSBI Plus dan Reguler. Pemisahan kedua kelompok tersebut
menimbulkan terjadinya pemisahan yang dapat menimbulkan kelompok sebagaimana
yang diartikan sebagai segregasi.
Program RSBI ini
telah membuat segregasi yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi pada siswa RSBI Plus dan
Reguler. Program RSBI menjadi begitu elitis dan eksklusif sehingga hanya
orang-orang kaya yang bisa mengikutinya karena sekolah memang mengenakan biaya
yang tinggi pada pesertanya. Besarnya biaya sekolah menimbulkan implikasi
lainnya berupa terbatasnya golongan masyarakat yang dapat bersekolah di sekolah
RSBI. Hanya siswa dari kalangan mampu secara ekonomi yang dapat menikmati
pendidikan bertaraf internasional. Terjadi sebuah ketidakmerataan atas hak
untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu antara siswa yang mampu dan yang
tidak mampu dalam hal ekonomi. Karena jika hal ini terus
dilaksanakan, maka RSBI akan condong pada praktek kapitalisasi dalam pendidikan.
Pada kapitalisasi pendidikan, hanya orang dari golongan mampu yang bisa
menikmati fasilitas pendidikan. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun
2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 1 yang mengemukakan
bahwa tiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam hal pendidikan. Praktek
kapitalisme harus dibebaskan dalam hak dasar manusia, salah satunya adalah
pendidikan.
C. Simbol-Simbol
Sosial Siswa RSBI Plus
Setiap siswa SMA
Negeri 1 Batang memiliki simbol-simbol sosial yang mereka pergunakan dalam
kehidupannya sehari-hari, khususnya dalam lingkungan sekolah. Para siswa SMA
Negeri 1 Batang memiliki simbol atau logo siswa RSBI Plus yang melekat di baju
seragam mereka, dan juga memiliki penampilan yang lebih bergaya dan mewah juga mengikuti
perkembangan jaman. Tak hanya cukup dengan penampilan fisik mereka saja, para
siswa kelas plus juga identik dengan menggunakan gadget untuk eksistensi mereka
di lingkungan sekolah, yakni dengan membawa barang-barang elektronik mereka ke
sekolah. Serta dalam penampilannya para siswa plus senang memakai barang-barang
yang dapat menunjang penampilannya, dimana melihat hampir semua siswa dari
kelas plus bergaya mengikuti trend jaman sekarang, salah satu contohnya adalah
dengan menggunkan behel (kawat gigi) yang berwarna-warni padahal mereka sudah
memiliki gigi yang bagus, dan diakui hanya untuk gaya saja. Juga dengan
menggunakan barang-barang bermerk ke sekolah, seperti lain: jam tangan, dompet,
tas, dan sepatu, dengan merk terkenal.
Salah satu bentuk perbedaan
yang sangat menonjol dari sistem pendidikan RSBI yang diterapkan di SMA Negeri
1 Batang adalah terbaginya siswa menjadi dua kelas yakni RSBI Plus dan Reguler,
sehingga tentunya diantara kedua kelas tersebut tidak mendapatkan pelayanan
yang sama. Fasilitas yang didapatkan kelas Plus jauh berbeda dengan fasilitas
yang didapatkan oleh siswa kelas reguler. Kelas Plus yang dilengkapi dengan
segala fasilitas yang dikatakan bertujuan untuk menunjang pembelajaran mereka,
yakni dengan adanya peralatan yang canggih dan mutakhir di dalam kelas, sepert
Laptop, Proyektor, Wifi, dan bahkan lengkap dengan AC.
Perbedaan asilitas
juga menyebabkan timbulnya permasalahan diantara para siswa. Hal ini
memperlihatkan bahwa sekolah nampaknya
lebih mementingkan alat dan fasilitas daripada proses. Padahal pendidikan
adalah lebih mengutamakan proses daripada segala fasilitas dan peralatan. Dan
dalam hal ini, internasionalisasi pendidikan lebih dipandang dari segi
fasilitasnya bukan prosesnya.
D. Pemaknaan
Simbol Sosial Bagi Siswa
Program kelas RSBI
ini di lapangan ternyata menciptakan terjadinya kesenjangan sosial
diantara para siswa yang berbeda kelas. Program ini menyebabkan para siswa yang
tergolong kedalamnya menjadi terlihat lebih eksklusif, dan hal ini berdampak
terhadap terjadinya kastanisasi di SMA Negeri 1 Batang, dikarenakan untuk
menjadi siswa kelas plus hanya bisa dimasuki oleh para siswa yang berasal dari
kelas menengah ke atas, hal tersebut disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan.
Tingginya biaya pendidikan yang dikenakan
pada orangtua dari siswa kelas plus di SMA Negeri 1 Batang
menyebabkan tidak semua anak dapat memasuki kelas tersebut, sehingga
mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial di sekolah, dimana para siswa kelas
plus merasa sebagai kelompok elit yang berbeda dengan siswa dari kelas reguler.
Hal tersebut terlihat dari sikap para siswa kelas plus yang menggunakan
simbol-simbol sosial dari cara berpenampilan dan penggunaan barang-barang
bermerk untuk menunjukkan kelas sosialnya kepada siswa lainnya. Dan adanya
pembedaan diantara kedua kelas tersebut juga tentunya dimanfaatkan oleh para
siswa kelas plus untuk mempermudah aktivitasnya di sekolah, yakni untuk
mempermudahnya keluar masuk kelas dan sekolah apabila ingin melakukan suatu hal
penting, yakni hanya dengan menunjukkan simbol atributnya sebagai seorang siswa
kelas plus.
Pelaksanaan kelas
RSBI tersebut juga berdampak pada terjadinya pengelompokan diantara para siswa,
dan pengelompokan tersebut menimbulkan terbentuknya segregasi dalam sistem
pendidikan di Negara kita, dimana seperti yang terjadi di SMA Negeri 1 Batang,
dimana pemisahan antara siswa kelas plus dan reguler tersebut menimbulkan terjadinya pemisahan
yang dapat menimbulkan kelompok sebagaimana yang diartikan sebagai segregasi.
Program ini telah membuat segregasi yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi pada siswa yang RSBI Plus dan
reguler, dimana kelas RSBI Pus memang mengenakan biaya yang tinggi pada para
siswanya, akibatnya siswa yang kurang mampu tidak dapat masuk menjadi siswa kelas
plus.
Diskriminasi tersebut terjadi akibat adanya
prasangka sosial di dalam masyarakat yang menciptakan munculnya stereotype di
dalam dunia pendidikan, dimana stereotipe yang berkembang di dalam masyarakat adalah sekolah RSBI merupakan
sekolah "tempat orang kaya" sehingga mereka yang sebenarnya mampu
bersaing dalam hal intelektual tetapi kurang mampu secara financial merasa
minder untuk masuk RSBI. Seperti yang terjadi pada para siswa SMA
Negeri 1 Batang, para
siswa kelas reguler di menganggap bahwa para siswa yang berada di
kelas plus merupakan kumpulan dari siswa-siswa yang memiliki ekonomi menengah
ke atas, sehingga mereka kerap merasa berbeda dengan mereka, karena muncul
anggapan bahwa kelas sosial dari para siswa kelas plus lebih tinggi dari siswa
reguler.
E. Kesadaran
Terhadap Status Sosial Siswa
Dengan adanya label
yang dimilikinya mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan
kepada orangtua atau calon orangtua murid. Sekolah memungut dengan berbagai
alasan, misalnya untuk membiayai kegiatan dalam rangka peningkatan sarana
prasarana sekolah, peningkatan kualitas tenaga pengajar termasuk kesejahteraan
tenaga pengajar, penyediaan sarana pembelajaran berbasis multi media, dan
sebagainya. Dan celakanya, terkadang besaran dana sumbangan ini dapat
menentukan, sebagai salah satu pertimbangan bagi sekolah dalam
diterima/tidaknya calon siswa baru.
Hal ini tentu
menuntut biaya yang cukup besar, baik dari operasional sekolah maupun individu
siswa, sehingga biaya yang dikeluarkan siswa cukup tinggi, bahkan untuk kelas
RSBI Plus di SMA Negeri 1 Batang biaya per bulan mencapai satu juta rupiah.
Fasilitas penunjang yang diperlukan juga harus dipenuhi, seperti laptop untuk
tiap siswa, buku pelajaran standar nasional dan standar internasional, dan masih
banyak lagi. Oleh karena itu, kelas RSBI dinilai hanya mampu melayani bagi
mereka yang bersal dari kalangan menengah atas.
Penyelenggaraan program RSBI ternyata membawa dampak
negatif bagi terbukanya kesempatan dan hak setiap kalangan masyarakat untuk mendapatkan
pendidikan bermutu. Pembagian kelas yang ada di SMA Negeri 1 Batang menimbulkan segregasi
dalam hal kualitas pendidikan. Dimana menyebabkan terjadinya dualisme penetapan
standart pendidikan, yakni nasional dan internasional. Dengan diberlakukannya
program RSBI ini, berbagai persoalan yang berhubungan dengan status sosial para
siswa muncul, mulai dari pembiayaan yang harus ditanggung orangtua karena
mahalnya biaya pendidikan, sampai kepada adanya pelabelan terhadap RSBI
tersebut. Sistem RSBI memunculkan kasta diantara para siswa di SMA Negeri 1 Batang.
F. Interaksi
Dan Jarak Sosial Antara Siswa
Yang menjadi faktor
penghambat interaksi siswa antara lain, dikarenakan oleh sulitnya waktu yang
dimiliki oleh para siswa kelas plus untuk bertemu dengan teman-temannya dari
kelas reguler dikarenakan oleh padatnya jadwal belajar mereka. Interaksi antara siswa juga dihambat oleh
adanya pandangan negatif oleh siswa reguler kepada para siswa dari kelas plus,
yang membuat hubungan diantara mereka tidak dapat berjalan dengan harmonis.
Sedangkan untuk interaksi siswa dengan teman sesamanya, atau interaksi antar
sesama siswa kelas plus tidaklah terdapat hambatan sama sekali, dikarenakan
oleh waktu, lokasi, serta segala sistem pembelajaran yang mereka dapatkan
memiliki kesamaan.
Simbol-simbol
sosial yang dipergunakan oleh para siswa timbul akibat adanya kesadaran
terhadap status sosial yang mereka miliki, dan hal tersebut kemudian memberikan
pengaruh terhadap pembentukan jarak dalam hubungan yang terjalin diantara siswa.
Jarak sosial yang terlihat dengan adanya penggunaan simbol tersebut, antara
lain menyebabkan terjadinya pengelompokan diantara para siswa, dimana para
siswa hanya mau menjalin hubungan dengan teman-teman yang sama dengannya,
terutama dalam hal status sosial ekonominya. Bahkan untuk bergaul di luar
sekolah saja juga terlihat jurang pemisah diantara kedua siswa berbeda kelas
tersebut.
G. Struktur
Sosial yang Terbentuk Melalui Proses Interaksi
Di dalam lingkungan
sekolah, hubungan antara guru dan murid menjadi sebuah faktor yang sangat
penting untuk dibina keharmonisannya untuk membantu dalam memperlancar proses
belajar mengajar. Perlakuan khusus yang diberikan oleh para guru terhadap siswa
kelas plus ternyata berdampak terhadap hubungan yang terjalin diantara para
guru dan murid, dimana yang terbentuk adalah pola interaksi guru yang bersifat
permisif dimana maksudnya dalam
pengelolaan kelas guru untuk memberi kebebasan pada siswa untuk melakukan
berbagai aktifitas sesuai dengan yang mereka inginkan. Dalam pendekatan ini
peran guru adalah meningkatkan kebebasan siswa. Campur tangan guru dilakukan
seminimal mungkin dan berperan sebagai pendorong mengembangkan potensi siswa
secara penuh.
Namun, yang paling
utama dalam pendekatan ini adalah apa, kapan dan dimana guru hendaknya
membiarkan siswa bertindak bebas sesuai dengan yang diinginkanya. Karena dengan
memberikan kebebasan yang berlebihan akan membuat para siswa menjadi malas dan
bertindak sesuai dengan keinginan mereka tanpa mengindahkan peraturan-peraturan
yang ada. Akan tetapi ada yang
berubah saat ini. Ada guru yang
justru mendapatkan perlakuan yang tidak
semestinya. Mereka menjadi kurang dihormati oleh anak didiknya. Mendapatkan
perlakuan yang kurang simpatik dari anak didiknya. Tidak diindahkan kata-katanya.
Disepelekan nasihat dan saran-sarannya. Serta perlakuan jahil yang dilakukan
anak didiknya. Hal tersebut juga dapat
disebabkan oleh tindakan permisif dari para guru, yakni hal tersebut
menyebabkan guru cenderung tidak tegas dalam menjalankan
peraturan kelas.
Label yang
diberikan oleh para guru terhadap para siswa kelas plus menyebabkan munculnya
perasaan lebih di dalam diri para siswa kelas plus dibandingkan dengan para
siswa kelas reguler. Dan hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menjadi
penghambat bagi para siswa untuk berinteraksi. Siswa kelas plus merasa memiliki
status yang lebih tinggi, sedangkan para siswa kelas reguler merasa lebih
rendah dan menjadi minder untuk bergaul dengan para siswa kelas plus. Sehingga
tidak terdapat titik temu diantara para siswa, dan hal tersebut terjadi
diakibatkan oleh perbedaan perlakuan yang ditunjukkan oleh para guru terhadap
kedua kelompok siswa tersebut. Sikap dari para guru yang membedakan menyebabkan
para siswa memiliki pandangan negatif terhadap siswa lain, dimana kerap kali
muncul rasa iri dari siswa reguler terhadap siswa kelas plus terhadap segala
fasilitas dan kenyaman serta perlakuan yang mereka dapatkan dari pihak sekolah.
Hal tersebut kemudian berdampak terhadap interaksi mereka sehingga menimbulkan
ketidakharmonisan hubungan diantara para siswa kelas plus dan kelas reguler.
Perbedaan yang
cukup menonjol dari kedua jenis kelompok tersebut adalah pada masalah waktu
belajar. Kelas plus memiliki waktu belajar yang lebih lama dibandingkan dengan
kelas reguler, dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya permasalahan yang
kedua, yakni hubungan yang kurang baik diantara siswa kelas plus dan kelas
reguler dan muncul berbagai pandangan negatif dari siswa reguler kepada siswa
kelas plus. Akibat hal tersebut para siswa kelas reguler menganggap para siswa
kelas plus bersikap sombong dan tidak mau bergaul dengan mereka dan juga
menganggap para siswa kelas plus sok sibuk, seperti yang terungkap pada hasil
wawancara dengan para siswa reguler. Namun, pada kenyataannya hal tersebut
dikarenakan oleh kurangnya waktu yang dimiliki oleh para siswa kelas. Hal
tersebut terjadi karena karakteristik dan tuntutan yang berbeda
diantara kedua kelas tersebut dalam sistem pembelajarannya. Peserta didik kelas
plus seolah-olah menjadi kelompok eksklusif dan manunjukkan adanya kesenjangan
dengan peserta didik reguler. Waktunya banyak digunakan untuk belajar dan
sangat sedikit digunakan untuk bersosialisasi dengan siswa maupun kegiatan
lain.
Penyelenggaraan
program RSBI juga memberikan dampak kepada para siswa, diantaranya padatnya
tugas-tugas membuat siswa menjadi eksklusif dan kurang bersosialisasi dengan
teman-teman reguler , sehingga seolah-oleh terlihat bahwa para siswa kelas plus
bersikap asosial, meskipun masih terdapat sebahagian yang masih dapat bermain
dengan teman dari reguler. Hal ini menyebabkan kurangnya solidaritas yang
terbina diantara para siswa kelas plus dengan siswa reguler.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kelas menjadi sebuah alat sebagai
pengungkapan citra (objek) bagi para siswa RSBI Plus di SMA Negeri 1 Batang
yang berfungsi sebagai juru bicara gaya hidup mereka, yakni dalam hal
pembentukan identitas diri dan status sosial mereka dengan mempertontonkan gaya
hidup mereka di ruang publik.
RSBI sebagai sekolah unggulan dengan
mengadopsi kurikulum luar negeri nyatanya justru menimbulkan kelas sosial di
dalamnya. Program kelas RSBI Plus ini di lapangan ternyata menciptakan
terjadinya kesenjangan sosial diantara para siswa yang berbeda kelas. Program
ini menyebabkan para siswa yang tergolong kedalamnya menjadi terlihat lebih
eksklusif, dan hal ini berdampak terhadap terjadinya kastanisasi di SMA Negeri
1 Batang.
Pelaksanaan kelas RSBI berdampak pada
terjadinya pengelompokan diantara para siswa, dan pengelompokan tersebut
menimbulkan terbentuknya segregasi dalam sistem pendidikan di Negara kita, hal
ini telah terjadi di SMA Negeri 1 Batang.
B. Saran
Para siswa harus memahami bahwa pada dasarnya
setiap siswa di dalam dunia pendidikan memiliki hak dan kedudukan yang sama,
jangan memandang rendah siswa lain karena perbedaan status sosialnya dan para
guru disarankan agar jangan menjadikan adanya perbedaan kelas antara siswa RSBI
Plus dan Reguler ini alasan untuk membedakan perlakuan yang mereka berikan
terhadap para siswa.
Aspek pemerataan kesempatan dalam RSBI harus
mendapat perhatian. Hal ini dimaksudkan agar RSBI tidak bersifat eksklusif,
namun semua individu dari berbagai kelas sosial dapat menikmati fasilitas ini.
Keberadaan RSBI jangan sampai sekedar simbol status bagi pihak-pihak yang
berkepentingan di dalamnya, seperti guru, orang tua serta peserta didik. Aspek
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan juga harus diperhatikan.
Pemerintah harus memberikan akses seluas-luasnya kepada siswa
dari segala lapisan ekonomi, untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik
khususnya dengan tingkat RSBI agar tercapainya rasa keadilan dan kesetaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad & Mohammad Asrori. 2004. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: PT Bumi Aksara
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Pers.
Diunduh dari http:///RSBI/Guru.Harus.Rekomendasikan.Siswa.Miskin.ke.RSBI.htm. pada Jumat 27 Oktober 2012 Pukul 21.17WIB.
Diunduh dari http:///RSBI/ SBI/rintisan-sekolah-bertaraf-internasional.html.ke.RSBI.htm. pada Jumat 27 Oktober 2012 Pukul 21.17WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar