Rabu, 14 November 2012

INTERAKSI ANTARA SISWA KELAS RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (RSBI) DENGAN SISWA KELAS REGULER DARI KALANGAN ORANG MISKIN DALAM MEMAKNAI SIMBOLITASNYA (STUDI KASUS DI SMA NEGERI 1 BATANG)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan di Indonesia sejatinya adalah untuk semua (education for all). Oleh karena itu harus bisa diikuti oleh seluruh bangsa Indonesia, murah dan berkualitas dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi dalam implementasi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, tidak mewujudkan adanya unsur pemerataan pendidikan. Pendidikan seharusnya mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai sila kelima Pancasila. Sekolah pemerintah yang mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak boleh ada kastanisasi, diskriminasi, dan ketidakadilan, akan tetapi RSBI telah menciptakan ketidakadilan.
Sebagaimana ide awal pendidikan yang hendak mencerahkan tentunya menjadi kontra produktif jika akhirnya sekolah sebagai institusi pendidikan malah menyebabkan segregasi dalam masyarakat. Ini semua membuat siswa dari keluarga kurang mampu pasti berpikir seribu kali untuk masuk ke RSBI. Mereka khawatir tetap akan dikenai pungutan mahal di sekolah itu. Siswa yang kurang dalam hal ekonomi bukan berarti tak mampu secara intelektual untuk mengikuti pelajaran di RSBI. Para pemangku kepentingan hendaknya menghilangkan segregasi sosial yang terdapat di dalam sistem pendidikan kita, dimana RSBI bukanlah ajang untuk komersialisasi pendidikan, melainkan ajang untuk menciptakan SDM Indonesia berkualitas, sehingga dapat memberikan kesempatan kepada semua kalangan masyarakat untuk dapat menikmati sistem RSBI tersebut.
Program RSBI ini telah membuat segregasi yang mengakibatkan terjadinya  diskriminasi pada siswa yang RSBI dan yang non-RSBI dan atau dengan kata lain antara siswa RSBI dengan siswa dari kalangan orang miskin. Program RSBI menjadi begitu elitis dan eksklusif sehingga hanya orang-orang kaya yang bisa mengikutinya karena sekolah memang mengenakan biaya yang tinggi pada pesertanya. Akibatnya siswa yang miskin menjadi tak mampu mengikuti program ini. Adanya kelas RSBI ini dilapangan ternyata telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan.
Sementara itu RSBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi sangat komersial. Komersialisasi pendidikan inilah yang kemudian menyebabkan hanya anak-anak orang kaya saja yang bisa memasuki kelas RSBI tersebut. Pembagian kelas antara siswa RSBI dan non-RSBI menimbulkan segregasi antara siswa kaya pada satu sisi dan siswa miskin di sisi lain. Pemerintah dianggap menciptakan sistem pendidikan yang tidak adil bagi siswa miskin. Dengan kata lain, pendidikan telah menjadi suatu komoditi bagi mereka yang memiliki uang dan mampu untuk membayarnya, dengan konsekuensi akan menikmati pelayanan dan mutu pendidikan, sementara bagi mereka yang tidak mampu membayar pendidikan tidak akan mendapat akses dan pelayanan pendidikan. Semua sistem dan struktur ekonomi kapitalistik telah membuat praktek pendidikan justru melanggengkan kelas sosial dan ketidakadilan sosial.
Penyusunan makalah ini dilatarbelakangi oleh adanya label yang digunakan oleh siswa kelas RSBI dalam penggunaan simbol-simbol dalam interaksi sosial mereka. Pemaknaan tentang label dan alasan tentang label yang melekat pada diri siswa kelas RSBI akan berpengaruh pada penggunaan simbol dalam interaksi sosial mereka, dimana SMA Negeri 1 Batang mempunyai siswa dengan latar belakang  yang berbeda-beda yang menyebabkan terjadinya pembagian kelas diantara mereka, yakni seperti terdapatnya kelas RSBI ini.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus permasalahan yang akan yang menjadi pusat perhatian adalah sebagai berikut :
1.      Simbol-simbol sosial apa sajakah yang digunakan oleh siswa RSBI untuk berinteraksi dengan siswa reguler di SMA Negeri I Batang?
2.      Bagaimanakah pemaknaan simbol interaksi tersebut dan kaitannya dengan status sosial dan bagaimanakah simbol tersebut mempengaruhi interaksi di kalangan siswa SMA Negeri I Batang?
3.      Bagaimanakah struktur sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial yang terjadi di kalangan siswa kelas RSBI dengan kelas reguler di SMA Negeri I Batang?


C.    Tujuan
Tujuan dari konsep pemikiran tentang posisi orang miskin di RSBI ini dilakukan dengan tujuan, antara lain:
1.      Untuk mengetahui simbol-simbol sosial apa sajakah yang digunakan oleh siswa RSBI untuk berinteraksi dengan siswa reguler di SMA Negeri I Batang.
2.      Untuk mengetahui pemaknaan simbol interaksi tersebut dan kaitannya dengan status sosial dan bagaimanakah simbol tersebut mempengaruhi interaksi di kalangan siswa SMA Negeri I Batang.
3.      Untuk mengetahui struktur sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial yang terjadi di kalangan siswa kelas RSBI dengan kelas reguler di SMA Negeri I Batang.

D.    Manfaat
Konsep pemikiran ini dilakukan dengan manfaat secara praktis pemikiran tentang RSBI, yaitu hasil pemikiran ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang positif berupa:
1.      Bagi Dinas Pendidikan Kota Batang, sebagai bahan masukan sehingga dalam mengambil kebijakan akan dapat mendukung dan memfasilitasi demi suksesnya pelaksanaan program RSBI pada tahun-tahun mendatang terhadap nasib siswa miskin yang berprestasi menjadi fokus perhatian yang serius.
2.      Bagi sekolah yang melaksanakan RSBI, sebagai bahan kajian untuk dapat melaksanakan RSBI tersebut secara lebih baik lagi dalam menerima siswa miskin yang berprestasi.
3.      Bagi para guru, akan memberikan langkah awal dan arah yang jelas dalam kesiapannya menghadapi pelaksanaan program RSBI terhadap siswa miskin yang berprestasi.






BAB II
STRATEGI KONSEPTUAL

A.    Pengertian RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasioanl)
Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah yang memenuhi seluruh standar nasional pendidikan serta mempunyai keunggulan yang merujuk pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional (Antoro,2010).
Indikator daya saing di forum internasional dalam bidang pendidikan khususnya yaitu kemampuan dan daya saing lulusan di forum internasional sebagaimana dijelaskan undang undang sistem pendidikan nasional (UU SPN) pada ayat (1) yaitu ditunjukan dengan: (1) Diterima pada satuan pendidikan bertaraf internasional di dalam negeri atau satuan pendidikan di luar negeri yang terakreditasi atau yang diakui oleh negaranya; (2) Lulus sertifikasi internasional yang dikeluarkan oleh negara lain yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; (3) Diterima bekerja pada lembaga internasional atau negara lain, dan atau; (5) Mampu berperan aktif dan berkomunikasi langsung.

B.     Tujuan Program RSBI
Ada beberapa tujuan dari dibuatnya program sekolah RSBI ini yaitu tujuan umum dan tujuan khusus,
1.      Tujuan Umum
a.       Meningkatkan kualitas pendidikan nasional sesuai dengan amanat Tujuan Nasional dalam Pembukaan UUD 1945, pasal 31 UUD 1945, UU No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, PP No.19 tahun 2005 tentang SNP (Standar Nasional Pendidikan), dan UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang menetapkan Tahapan Skala Prioritas Utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-1 tahun 2005-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan
b.      Memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas bertaraf nasional dan internasional.
c.       Menyiapkan lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global.
2.      Tujuan Khusus
Menyiapkan lulusan yang memiliki kompetensi yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri internasional. RSBI adalah sekolah yang berbudaya Indonesia, karena Kurikulumnya ditujukan untuk pencapaian indikator kinerja kunci minimal sebagai berikut: (Hartoyo,2008a). (1) Menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP); (2) Menerapkan sistem satuan kredit semester di SMA/SMK/MA/MAK; (3) Memenuhi Standar Isi; dan (4) Memenuhi Standar Kompetensi Lulusan.

C.    Konsep Sekolah Bertaraf Internasional
Seperti dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) tahun 2007 tentang Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa Sekolah Bertaraf Internasional merupakan Sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional.
Dengan konsepsi ini, RSBI adalah sekolah yang sudah memenuhi dan melaksanakan standar nasional pendidikan yang meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, dan standar penilaian. Selanjutnya, aspek-aspek standar nasional pendidikan (SNP) tersebut diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam, diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan serta diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.
Untuk dapat memenuhi karakteristik dan konsepsi RSBI tersebut, maka sekolah dapat melakukan minimal dengan dua cara, yaitu: (1) adaptasi, yaitu penyesuaian unsurunsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional; dan (2) adopsi, yaitu penambahan unsur-unsur tertentu yang belum ada dalam SNP dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.

D.    Karakteristik RSBI
Pada dasarnya sekolah yang telah bertaraf internasional harus memiliki keunggulan yang ditunjukkan oleh pengakuan internasional terhadap proses dan hasil pendidikan dalam berbagai aspek. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan sertifikasi berpredikat baik dari salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dalam konteks di Indonesia, lulusan SBI diharapkan, selain menguasai SNP Indonesia, juga menguasai kemampuan-kemampuan kunci global agar setara dengan rekannya dari negara-negara maju tersebut (PP No.19,2005).
Apabila mengacu pada visi pendidikan nasional, maka karakteristik visi RSBI adalah terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Visi tersebut memiliki implikasi bahwa penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upaya-upaya yang dilakukan secara intensif, terarah, terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan bangsa yang maju, sejahtera, damai, dihormati, dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Maka dari itu misi RSBI adalah mewujudkan manusia Indonesia cerdas dan kompetitif secara internasional, yang mampu bersaing dan berkolaborasi secara global.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    RSBI Secara Nasional
Pemerintah sendiri sudah menghentikan pemberian izin baru RSBI mulai tahun ini. Kini, pemerintah mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010. Pemerintah juga sedang menyiapkan aturan baru soal standar RSBI/SBI di Indonesia. Dari kajian sementara, pendanaan RSBI sebagian besar ditanggung orangtua dan pemerintah pusat. Dukungan pendanaan dari pemerintah daerah justru minim (Permen No.78,2007).
RSBI pun sebagian besar siswanya dari kalangan kaya. Ini disebabkan biaya masuk untuk SMP dan SMA RSBI yang relatif mahal. Di sisi lain, alokasi 20 persen untuk siswa miskin yang mendapat beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI. Dari kajian sementara juga terungkap, dana yang dimiliki RSBI sekitar 50 persennya dialokasikan untuk sarana dan prasarana, sekitar 20 persen untuk pengembangan dan kesejahteraan guru, serta manajemen sekolah berkisar 10 persen (Hartoyo,2007).
Di sisi lain, kemampuan bahasa Inggris guru juga masih belum memadai. Kajian pada tahun 2008, sekitar 50 persen guru di RSBI ada di level novice (10-250). Sementara untuk guru Matematika dan Sains kemampuan di level terendah notice dan elementary. Hanya kemampuan guru pengajar bahasa Inggris di RSBI yang memenuhi syarat di level intermediate ke atas. Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolah RSBI sekitar 51 persen berada di level terendah (Hartoyo,2005).
Hal paling pokok perlu diperhatikan pemerintah adalah tatanan peraturan dan landasan berpikir untuk menjalankan program RSBI yang memang belum kokoh. Sampai saat ini, permasalahan RSBI masih memperdebat soal penggunaan bahasa Inggris dan hal-hal teknis. Memang ada penegasan, bahwa hanya orang tua siswa yang mampu yang diperbolehkan dibebani biaya, tetapi pada praktiknya sangat disayangkan hal tersebut tidak berjalan dengan baik. Dengan alasan yang halus sampai ultimatum yang tidak menyenangkan bagi orang tua siswa yang kurang mampu sangat dimungkinkan banyak terjadi menimpa mereka.

B.     Implementasi Sistem RSBI di SMA Negeri 1 Batang
Program RSBI ini di lapangan ternyata menciptakan kesenjangan sosial pada siswa. Program RSBI menjadikan sekolah yang menerapkan sistem tersebut, salah satunya di SMA Negeri 1 Batang,  menjadi eksklusif dan menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan menengah ke atas. Tingginya pembiayaan yang dikenakan pada orang tua siswa membuat SMA Negeri 1 Batang menjadi semakin sulit untuk dimasuki oleh anak-anak dari kalangan bawah, sehingga memgakibatkan kesenjangan sosial di sekolah, dimana siswa kelas RSBI Plus ini merasa seperti kelompok elit yang berbeda dengan siswa kelas reguler. Pelaksanaan kelas RSBI berdampak pada terjadinya pengelompokan diantara para siswa, dan pengelompokan tersebut menimbulkan terbentuknya segregasi dalam sistem pendidikan di Negara kita, dimana seperti yang terjadi di SMA Negeri 1 Batang, yakni terpisahnya siswa menjadi dua kelompok yaitu siswa RSBI Plus dan Reguler. Pemisahan kedua kelompok tersebut menimbulkan terjadinya pemisahan yang dapat menimbulkan kelompok sebagaimana yang diartikan sebagai segregasi.
Program RSBI ini telah membuat segregasi yang mengakibatkan terjadinya  diskriminasi pada siswa RSBI Plus dan Reguler. Program RSBI menjadi begitu elitis dan eksklusif sehingga hanya orang-orang kaya yang bisa mengikutinya karena sekolah memang mengenakan biaya yang tinggi pada pesertanya. Besarnya biaya sekolah menimbulkan implikasi lainnya berupa terbatasnya golongan masyarakat yang dapat bersekolah di sekolah RSBI. Hanya siswa dari kalangan mampu secara ekonomi yang dapat menikmati pendidikan bertaraf internasional. Terjadi sebuah ketidakmerataan atas hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu antara siswa yang mampu dan yang tidak mampu dalam hal ekonomi.  Karena jika hal ini terus dilaksanakan, maka RSBI akan condong pada praktek kapitalisasi dalam pendidikan. Pada kapitalisasi pendidikan, hanya orang dari golongan mampu yang bisa menikmati fasilitas pendidikan. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 1 yang mengemukakan bahwa tiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam hal pendidikan. Praktek kapitalisme harus dibebaskan dalam hak dasar manusia, salah satunya adalah pendidikan.

C.    Simbol-Simbol Sosial Siswa RSBI Plus
Setiap siswa SMA Negeri 1 Batang memiliki simbol-simbol sosial yang mereka pergunakan dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya dalam lingkungan sekolah. Para siswa SMA Negeri 1 Batang memiliki simbol atau logo siswa RSBI Plus yang melekat di baju seragam mereka, dan juga memiliki penampilan yang lebih bergaya dan mewah juga mengikuti perkembangan jaman. Tak hanya cukup dengan penampilan fisik mereka saja, para siswa kelas plus juga identik dengan menggunakan gadget untuk eksistensi mereka di lingkungan sekolah, yakni dengan membawa barang-barang elektronik mereka ke sekolah. Serta dalam penampilannya para siswa plus senang memakai barang-barang yang dapat menunjang penampilannya, dimana melihat hampir semua siswa dari kelas plus bergaya mengikuti trend jaman sekarang, salah satu contohnya adalah dengan menggunkan behel (kawat gigi) yang berwarna-warni padahal mereka sudah memiliki gigi yang bagus, dan diakui hanya untuk gaya saja. Juga dengan menggunakan barang-barang bermerk ke sekolah, seperti lain: jam tangan, dompet, tas, dan sepatu, dengan merk terkenal.
Salah satu bentuk perbedaan yang sangat menonjol dari sistem pendidikan RSBI yang diterapkan di SMA Negeri 1 Batang adalah terbaginya siswa menjadi dua kelas yakni RSBI Plus dan Reguler, sehingga tentunya diantara kedua kelas tersebut tidak mendapatkan pelayanan yang sama. Fasilitas yang didapatkan kelas Plus jauh berbeda dengan fasilitas yang didapatkan oleh siswa kelas reguler. Kelas Plus yang dilengkapi dengan segala fasilitas yang dikatakan bertujuan untuk menunjang pembelajaran mereka, yakni dengan adanya peralatan yang canggih dan mutakhir di dalam kelas, sepert Laptop, Proyektor, Wifi, dan bahkan lengkap dengan AC.
Perbedaan asilitas juga menyebabkan timbulnya permasalahan diantara para siswa. Hal ini memperlihatkan  bahwa sekolah nampaknya lebih mementingkan alat dan fasilitas daripada proses. Padahal pendidikan adalah lebih mengutamakan proses daripada segala fasilitas dan peralatan. Dan dalam hal ini, internasionalisasi pendidikan lebih dipandang dari segi fasilitasnya bukan prosesnya.



D.    Pemaknaan Simbol Sosial Bagi Siswa
Program kelas RSBI  ini di lapangan ternyata menciptakan terjadinya kesenjangan sosial diantara para siswa yang berbeda kelas. Program ini menyebabkan para siswa yang tergolong kedalamnya menjadi terlihat lebih eksklusif, dan hal ini berdampak terhadap terjadinya kastanisasi di SMA Negeri 1 Batang, dikarenakan untuk menjadi siswa kelas plus hanya bisa dimasuki oleh para siswa yang berasal dari kelas menengah ke atas, hal tersebut disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan.
 Tingginya biaya pendidikan yang dikenakan pada orangtua dari siswa kelas plus di SMA Negeri 1 Batang menyebabkan tidak semua anak dapat memasuki kelas tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial di sekolah, dimana para siswa kelas plus merasa sebagai kelompok elit yang berbeda dengan siswa dari kelas reguler. Hal tersebut terlihat dari sikap para siswa kelas plus yang menggunakan simbol-simbol sosial dari cara berpenampilan dan penggunaan barang-barang bermerk untuk menunjukkan kelas sosialnya kepada siswa lainnya. Dan adanya pembedaan diantara kedua kelas tersebut juga tentunya dimanfaatkan oleh para siswa kelas plus untuk mempermudah aktivitasnya di sekolah, yakni untuk mempermudahnya keluar masuk kelas dan sekolah apabila ingin melakukan suatu hal penting, yakni hanya dengan menunjukkan simbol atributnya sebagai seorang siswa kelas plus.
Pelaksanaan kelas RSBI tersebut juga berdampak pada terjadinya pengelompokan diantara para siswa, dan pengelompokan tersebut menimbulkan terbentuknya segregasi dalam sistem pendidikan di Negara kita, dimana seperti yang terjadi di SMA Negeri 1 Batang, dimana pemisahan antara siswa kelas plus dan reguler  tersebut menimbulkan terjadinya pemisahan yang dapat menimbulkan kelompok sebagaimana yang diartikan sebagai segregasi. Program ini telah membuat segregasi yang mengakibatkan terjadinya  diskriminasi pada siswa yang RSBI Plus dan reguler, dimana kelas RSBI Pus memang mengenakan biaya yang tinggi pada para siswanya, akibatnya siswa yang kurang mampu tidak dapat masuk menjadi siswa kelas plus.
 Diskriminasi tersebut terjadi akibat adanya prasangka sosial di dalam masyarakat yang menciptakan munculnya stereotype di dalam dunia pendidikan, dimana stereotipe yang berkembang di dalam  masyarakat adalah sekolah RSBI merupakan sekolah "tempat orang kaya" sehingga mereka yang sebenarnya mampu bersaing dalam hal intelektual tetapi kurang mampu secara financial merasa minder untuk masuk RSBI.  Seperti yang terjadi pada para siswa SMA Negeri 1 Batang, para siswa kelas reguler di menganggap bahwa para siswa yang berada di kelas plus merupakan kumpulan dari siswa-siswa yang memiliki ekonomi menengah ke atas, sehingga mereka kerap merasa berbeda dengan mereka, karena muncul anggapan bahwa kelas sosial dari para siswa kelas plus lebih tinggi dari siswa reguler.

E.     Kesadaran Terhadap Status Sosial Siswa
Dengan adanya label yang dimilikinya mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan kepada orangtua atau calon orangtua murid. Sekolah memungut dengan berbagai alasan, misalnya untuk membiayai kegiatan dalam rangka peningkatan sarana prasarana sekolah, peningkatan kualitas tenaga pengajar termasuk kesejahteraan tenaga pengajar, penyediaan sarana pembelajaran berbasis multi media, dan sebagainya. Dan celakanya, terkadang besaran dana sumbangan ini dapat menentukan, sebagai salah satu pertimbangan bagi sekolah dalam diterima/tidaknya calon siswa baru.
Hal ini tentu menuntut biaya yang cukup besar, baik dari operasional sekolah maupun individu siswa, sehingga biaya yang dikeluarkan siswa cukup tinggi, bahkan untuk kelas RSBI Plus di SMA Negeri 1 Batang biaya per bulan mencapai satu juta rupiah. Fasilitas penunjang yang diperlukan juga harus dipenuhi, seperti laptop untuk tiap siswa, buku pelajaran standar nasional dan standar internasional, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, kelas RSBI dinilai hanya mampu melayani bagi mereka yang bersal dari kalangan menengah atas.
Penyelenggaraan program RSBI ternyata membawa dampak negatif bagi terbukanya kesempatan dan hak setiap kalangan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Pembagian kelas yang ada di SMA Negeri 1 Batang menimbulkan segregasi dalam hal kualitas pendidikan. Dimana menyebabkan terjadinya dualisme penetapan standart pendidikan, yakni nasional dan internasional. Dengan diberlakukannya program RSBI ini, berbagai persoalan yang berhubungan dengan status sosial para siswa muncul, mulai dari pembiayaan yang harus ditanggung orangtua karena mahalnya biaya pendidikan, sampai kepada adanya pelabelan terhadap RSBI tersebut. Sistem RSBI memunculkan kasta diantara para siswa di SMA Negeri 1 Batang.
F.     Interaksi Dan Jarak Sosial Antara Siswa
Yang menjadi faktor penghambat interaksi siswa antara lain, dikarenakan oleh sulitnya waktu yang dimiliki oleh para siswa kelas plus untuk bertemu dengan teman-temannya dari kelas reguler dikarenakan oleh padatnya jadwal belajar mereka.  Interaksi antara siswa juga dihambat oleh adanya pandangan negatif oleh siswa reguler kepada para siswa dari kelas plus, yang membuat hubungan diantara mereka tidak dapat berjalan dengan harmonis. Sedangkan untuk interaksi siswa dengan teman sesamanya, atau interaksi antar sesama siswa kelas plus tidaklah terdapat hambatan sama sekali, dikarenakan oleh waktu, lokasi, serta segala sistem pembelajaran yang mereka dapatkan memiliki kesamaan.
Simbol-simbol sosial yang dipergunakan oleh para siswa timbul akibat adanya kesadaran terhadap status sosial yang mereka miliki, dan hal tersebut kemudian memberikan pengaruh terhadap pembentukan jarak dalam hubungan yang terjalin diantara siswa. Jarak sosial yang terlihat dengan adanya penggunaan simbol tersebut, antara lain menyebabkan terjadinya pengelompokan diantara para siswa, dimana para siswa hanya mau menjalin hubungan dengan teman-teman yang sama dengannya, terutama dalam hal status sosial ekonominya. Bahkan untuk bergaul di luar sekolah saja juga terlihat jurang pemisah diantara kedua siswa berbeda kelas tersebut.

G.    Struktur Sosial yang Terbentuk Melalui Proses Interaksi
Di dalam lingkungan sekolah, hubungan antara guru dan murid menjadi sebuah faktor yang sangat penting untuk dibina keharmonisannya untuk membantu dalam memperlancar proses belajar mengajar. Perlakuan khusus yang diberikan oleh para guru terhadap siswa kelas plus ternyata berdampak terhadap hubungan yang terjalin diantara para guru dan murid, dimana yang terbentuk adalah pola interaksi guru yang bersifat permisif dimana maksudnya  dalam pengelolaan kelas guru untuk memberi kebebasan pada siswa untuk melakukan berbagai aktifitas sesuai dengan yang mereka inginkan. Dalam pendekatan ini peran guru adalah meningkatkan kebebasan siswa. Campur tangan guru dilakukan seminimal mungkin dan berperan sebagai pendorong mengembangkan potensi siswa secara penuh.
Namun, yang paling utama dalam pendekatan ini adalah apa, kapan dan dimana guru hendaknya membiarkan siswa bertindak bebas sesuai dengan yang diinginkanya. Karena dengan memberikan kebebasan yang berlebihan akan membuat para siswa menjadi malas dan bertindak sesuai dengan keinginan mereka tanpa mengindahkan peraturan-peraturan yang ada. Akan tetapi ada yang  berubah  saat ini. Ada guru yang justru  mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya. Mereka menjadi kurang dihormati oleh anak didiknya. Mendapatkan perlakuan yang kurang simpatik dari anak didiknya. Tidak diindahkan kata-katanya. Disepelekan nasihat dan saran-sarannya. Serta perlakuan jahil yang dilakukan anak didiknya.  Hal tersebut juga dapat disebabkan oleh tindakan permisif dari para guru, yakni hal tersebut menyebabkan  guru cenderung tidak tegas dalam menjalankan peraturan kelas.
Label yang diberikan oleh para guru terhadap para siswa kelas plus menyebabkan munculnya perasaan lebih di dalam diri para siswa kelas plus dibandingkan dengan para siswa kelas reguler. Dan hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menjadi penghambat bagi para siswa untuk berinteraksi. Siswa kelas plus merasa memiliki status yang lebih tinggi, sedangkan para siswa kelas reguler merasa lebih rendah dan menjadi minder untuk bergaul dengan para siswa kelas plus. Sehingga tidak terdapat titik temu diantara para siswa, dan hal tersebut terjadi diakibatkan oleh perbedaan perlakuan yang ditunjukkan oleh para guru terhadap kedua kelompok siswa tersebut. Sikap dari para guru yang membedakan menyebabkan para siswa memiliki pandangan negatif terhadap siswa lain, dimana kerap kali muncul rasa iri dari siswa reguler terhadap siswa kelas plus terhadap segala fasilitas dan kenyaman serta perlakuan yang mereka dapatkan dari pihak sekolah. Hal tersebut kemudian berdampak terhadap interaksi mereka sehingga menimbulkan ketidakharmonisan hubungan diantara para siswa kelas plus dan kelas reguler.
Perbedaan yang cukup menonjol dari kedua jenis kelompok tersebut adalah pada masalah waktu belajar. Kelas plus memiliki waktu belajar yang lebih lama dibandingkan dengan kelas reguler, dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya permasalahan yang kedua, yakni hubungan yang kurang baik diantara siswa kelas plus dan kelas reguler dan muncul berbagai pandangan negatif dari siswa reguler kepada siswa kelas plus. Akibat hal tersebut para siswa kelas reguler menganggap para siswa kelas plus bersikap sombong dan tidak mau bergaul dengan mereka dan juga menganggap para siswa kelas plus sok sibuk, seperti yang terungkap pada hasil wawancara dengan para siswa reguler. Namun, pada kenyataannya hal tersebut dikarenakan oleh kurangnya waktu yang dimiliki oleh para siswa kelas. Hal tersebut terjadi  karena  karakteristik dan tuntutan yang berbeda diantara kedua kelas tersebut dalam sistem pembelajarannya. Peserta didik kelas plus seolah-olah menjadi kelompok eksklusif dan manunjukkan adanya kesenjangan dengan peserta didik reguler. Waktunya banyak digunakan untuk belajar dan sangat sedikit digunakan untuk bersosialisasi dengan siswa maupun kegiatan lain.
Penyelenggaraan program RSBI juga memberikan dampak kepada para siswa, diantaranya padatnya tugas-tugas membuat siswa menjadi eksklusif dan kurang bersosialisasi dengan teman-teman reguler , sehingga seolah-oleh terlihat bahwa para siswa kelas plus bersikap asosial, meskipun masih terdapat sebahagian yang masih dapat bermain dengan teman dari reguler. Hal ini menyebabkan kurangnya solidaritas yang terbina diantara para siswa kelas plus dengan siswa reguler.


















BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Kelas menjadi sebuah alat sebagai pengungkapan citra (objek) bagi para siswa RSBI Plus di SMA Negeri 1 Batang yang berfungsi sebagai juru bicara gaya hidup mereka, yakni dalam hal pembentukan identitas diri dan status sosial mereka dengan mempertontonkan gaya hidup mereka di ruang publik.
RSBI sebagai sekolah unggulan dengan mengadopsi kurikulum luar negeri nyatanya justru menimbulkan kelas sosial di dalamnya. Program kelas RSBI Plus ini di lapangan ternyata menciptakan terjadinya kesenjangan sosial diantara para siswa yang berbeda kelas. Program ini menyebabkan para siswa yang tergolong kedalamnya menjadi terlihat lebih eksklusif, dan hal ini berdampak terhadap terjadinya kastanisasi di SMA Negeri 1 Batang.
Pelaksanaan kelas RSBI berdampak pada terjadinya pengelompokan diantara para siswa, dan pengelompokan tersebut menimbulkan terbentuknya segregasi dalam sistem pendidikan di Negara kita, hal ini telah terjadi di SMA Negeri 1 Batang.

B.  Saran
Para siswa harus memahami bahwa pada dasarnya setiap siswa di dalam dunia pendidikan memiliki hak dan kedudukan yang sama, jangan memandang rendah siswa lain karena perbedaan status sosialnya dan para guru disarankan agar jangan menjadikan adanya perbedaan kelas antara siswa RSBI Plus dan Reguler ini alasan untuk membedakan perlakuan yang mereka berikan terhadap para siswa.
Aspek pemerataan kesempatan dalam RSBI harus mendapat perhatian. Hal ini dimaksudkan agar RSBI tidak bersifat eksklusif, namun semua individu dari berbagai kelas sosial dapat menikmati fasilitas ini. Keberadaan RSBI jangan sampai sekedar simbol status bagi pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya, seperti guru, orang tua serta peserta didik. Aspek pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan juga harus diperhatikan.
Pemerintah harus  memberikan akses seluas-luasnya kepada siswa dari segala lapisan ekonomi, untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik khususnya dengan tingkat RSBI agar tercapainya rasa keadilan dan kesetaraan.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad & Mohammad Asrori. 2004. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi Aksara
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Diunduh dari http:///RSBI/Guru.Harus.Rekomendasikan.Siswa.Miskin.ke.RSBI.htm. pada Jumat 27 Oktober 2012 Pukul 21.17WIB.
Diunduh dari http:///RSBI/ SBI/rintisan-sekolah-bertaraf-internasional.html.ke.RSBI.htm. pada Jumat 27 Oktober 2012 Pukul 21.17WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar