Kemiskinan perkotaan kini
menjadi isu yang kian relevan dan mendesak untuk ditangani terkait dengan adanya
tren dinamika pembangunan perkotaan di Indonesia. Sebagai ilustrasi sepanjang
1980 hingga 2012, pertumbuhan populasi perkotaan di Indonesia mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Kecenderungan urbanisasi kependudukan di
Indonesia juga diikuti dengan urbanisasi kemiskinan yang lebih lanjut berdampak
pada timbulnya berbagai aspek persoalan kemiskinan perkotaan seperti aspek
fisik (berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur dan sarana transportasi) dan
aspek nonfisik seperti kondisi sosial-ekonomi (keterbatasan lapangan pekerjaan,
kesenjangan, ketidakadilan), ataupun aspek ekologis (banjir dan pencemaran
lingkungan).
Pada aspek fisik yang
berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur yakni seperti halnya ketersediaan rumah
dan fasilitas pemukiman yang memadai merupakan kebutuhan pokok yang sangat
penting bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya sebagai makhluk sosial.
Di negara-negara yang sedang berkembang masalah kualitas perumahan dan
fasilitas pemukiman di kota-kota besar amat terasa dan menjadi masalah yang
krusial. Ini disebabkan oleh pertambahan penduduk kota yang sangat pesat karena
adanya migrasi dan terbatasnya lahan yang diperuntukkan untuk menjadi pemukiman
yang memadai.
Kondisi kota-kota di
Indonesia yang berkembang dan berfungsi sebagai pusat-pusat kegiatan mengundang
penduduk daerah sekitarnya untuk datang mencari lapangan kerja dan kehidupan
yang lebih baik. Mereka yang bermigrasi ke perkotaan relatif meningkat dari
tahun ke tahun, mereka ini berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang
berbeda-beda dan sebagian dari mereka datang tanpa tujuan yang jelas. Di lain
pihak kota belum siap dengan rencana sistem perkotaan untuk mengakomodasi
perkembangan kegiatan perkotaan dalam sistem rencana tata ruang kota dengan
berbagai aspek dan implikasinya termasuk di dalamnya menerima, mengatur dan
mendayagunakan pendatang. Akibatnya terjadi aktivitas yang sangat heterogen dan
tidak dalam kesatuan sistem kegiatan perkotaan yang terencana, yang
mengakibatkan terjadinya kantong-kantong kegiatan yang tidak saling menunjang,
termasuk dengan munculnya pemukiman yang berkembang di luar rencana sehingga
terbentuklah pemukiman-pemukiman kumuh di pusat kota dan di pusat-pusat
kegiatan industri.
Adanya fenomena perpindahan
manusia dari kawasan rural ke urban ini menyebabkan tingginya
tingkat populasi diperkotaan yang diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan
lahan. Kebutuhan lahan tumbuh seiring dengan tumbuhnya perkembangan penduduk,
dimana lahan akan digunakan sebagai tempat untuk mewadahi segala aktivitas
penduduk sehari-hari. Seiring dengan berjalannya waktu, pertumbuhan penduduk
dan aktivitasnya akan terus berjalan sedangkan luas lahan tetap dan bahkan
berkurang karena adanya abrasi dan berkurangnya dataran karena meningkatnya
volume perairan karena adanya global warming dewasa ini.
Meningkatnya pertumbuhan
penduduk dan semakin tingginya kebutuhan lahan akan menimbulkan gejala-gejala
sosial seperti kemiskinan, pengangguran dan kriminalitas. Kemiskinan dan
kebutuhan lahan yang tumbuh diperkotaan juga akan menimbulkan adanya kawasan
yang disebut sebagai kawasan kumuh. Kawasan atau pemukiman kumuh identik dengan
tempat tinggal bagi masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi rendah, sarana
prasarana yang tidak memadai, serta lingkungan yang kumuh serta rawan terjadi
bencana seperti terjadinya kebakaran, banjir, dan terjangkitnya penyakit
endemik pada masyarakat di kawasan itu.
Diperkirakan luas
pemukiman kumuh akan terus bertambah dengan kondisi lingkungan yang sama atau
semakin memburuk. Terlebih dengan krisis ekonomi di Indonesia yang tidak
kunjung berakhir sehingga berimbas pada meningkatnya jumlah penduduk miskin di
perkotaan yang sebagian besar diantara mereka tinggal di kawasan pemukiman
kampung kota.
Terbatasnya dana yang
dimiliki pemerintah untuk penataan dan pengelolaan kota dalam menghadapi
masalah kependudukan tersebut di atas juga telah menyebabkan fasilitas
perumahan dan pemukiman menjadi terbatas dan mahal pembiayaannya. Di daerah
perkotaan, warga yang paling tidak terpenuhi kebutuhan fasilitas perumahan dan
pemukimannya secara memadai adalah mereka yang tergolong berpenghasilan rendah
dan atau dengan kata lain orang miskin. Abrams (1964) misalnya mengatakan bahwa
pada waktu seseorang dihadapkan pada sebuah masalah mengenai pengeluaran yang
harus dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, makan,
berpakaian, dan pengobatan untuk kesehatan, maka yang pertama dikorbankan
adalah pengeluaran untuk rumah dan tempat tinggalnya.
Masalahnya bagi mereka masyarakat
miskin yang berpenghasilan rendah, adalah tidak dapat mengabaikan begitu saja
kebutuhan akan rumah dan tempat tinggal karena masalah ini penting dalam dan
bagi kehidupan mereka, tetapi di satu sisi mereka juga tidak mampu untuk
mengeluarkan biaya prioritas bagi pengembangan dan pemeliharaan rumah dan
lingkungan pemukimannya agar layak untuk dihuni. Semakin kecil bagian dari
penghasilan yang dapat disisihkan guna pembiayaan pemeliharaan rumah dan
fasilitas pemukiman, maka semakin kumuh pula kondisi pemukimannya.
Jika pertumbuhan lingkunan
pemukiman kumuh ini dibiarkan, maka derajat kualitas hidup masyarakat
miskin akan tetap rendah, akan mudah
menyebabkan kebakaran, memberi peluang tindakan kriminalitas, terganggunya
norma tata susila, tidak teraturnya tata guna tanah dan sering menimbulkan
banjir yang akhirnya menimbulkan degradasi lingkungan yang semakin parah.
Penggusuran pada pemukiman kampung kota yang kumuh oleh pihak-pihak terkait tidak
sepenuhnya menyelesaikan masalah, selain cara ini tidak manusiawi, para pemukim
kembali menyerobot tanah terbuka lainnya sehingga hilang satu akan tumbuh dua
atau lebih pemukiman kumuh yang baru lagi.
Fenomena diatas terjadi
di kota-kota besar di Indonesia, tidak terkecuali Kota Semarang. Kota Semarang
mempunyai 42 titik pemukiman kumuh (Suara Merdeka, 2005). Ke-42 titik tersebut
paling banyak ditemukan di Kecamatan Semarang Utara. Hal ini dikarenakan di
wilayah ini terdapat banyak pusat perdagangan dan industri yang menarik orang
untuk datang dan bekerja di sana. Proses terbentuknya pemukiman kumuh ini
terjadi karena para pekerja memilih tinggal di dekat tempat kerja. Kondisi
pemukiman tersebut jauh dari standar pemukiman yang ideal , dimana kondisinya kotor,
lusuh, tidak sehat, tidak tertib dan tidak teratur. Kondisi seperti itu menyebabkan
kawasan pemukiman kumuh ini mempunyai kualitas lingkungan rendah, yang mengakibatkan
kawasan tersebut rawan terkena penyakit dan juga terjadi bencana seperti
kebakaran dan banjir/ rob.
Sebagian besar mata
pencaharian penghuni pemukiman kumuh atau mereka yang tergolong berpenghasilan
rendah, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi dengan jenis kegiatan yang dilakukannya
itu dilakukan tanpa adanya pengesahan secara hukum formal, karena itu juga jenis
pekerjaan atau mata pencaharian mereka tergolong sebagai jenis pekerjaan di
luar hukum, baik yang dibenarkan menurut hukum maupun yang tidak. Karena itu
juga maka akses mereka untuk mendapatkan bantuan dari pranata-pranata ekonomi
dan keuangan secara formal menjadi sulit, sebab jaminan hukumnya tidak ada.
Permasalahan informal dan
aksesbiliti mungkin
lebih tepat kalau dilihat dalam kaitannya dengan kebudayaan kemiskinan yang
mereka miliki. Sebab bukan hanya mereka itu tidak mempunyai akses, tetapi seringkali
juga mereka tidak bersedia untuk menggunakan atau salah menggunakan fasilitas
yang disediakan oleh pemerintah melalui pranata-pranatanya.
Masyarakat miskin di
pemukiman kumuh yang warganya beranekaragam mata pencaharian dan profesi, dimana
sebagian besar di antaranya adalah bekerja di sektor informal, dan khususnya di
bidang jasa pelayanan, telah memungkinkan bagi warga pemukiman kumuh tersebut
untuk dapat hidup sebagai sebuah komuniti yang mandiri. Beranekaragamnya jasa
pelayanan atau diversifikasi jasa pelayanan yang ada telah memungkinkan mereka
itu dapat saling menghidupi dalam batas-batas tertentu. Kegiatan-kegiatan
mereka dalam sektor informal secara tidak langsung telah meciptakan pola
perilaku baru yaitu bahwa rumah bukan hanya tempat untuk beristirahat, tidur,
dan merupakan ruang untuk kegiatan-kegiatan pribadi dalam keluarga, tetapi
lebih dari itu rumah juga merupakan tempat untuk bekerja. Bahkan bukan hanya
rumah saja tetapi juga ruang-ruang terbuka seperti halaman rumah, atau lapangan
terbuka dimanfaatkan untuk tempat kegiatan bekerja maupun untuk mempersiapkan
produk-produk kerja mereka yang disiapkan maupun digunakan sebagai tempat
penyimpanan atau gudang.
Perbaikan kampung di daerah
perkotaan yang sudah pernah dilakukan di beberapa kampung kota besar, tidak
mengurangi keadaan semrawut kekumuhan ini bila warga kampung tersebut
tergolong sebagai orang miskin yang tidak peka dengan kondisi
lingkungan sekitar. Bukan hanya pemukiman yang padat rumah tetapi juga jalan-jalan
dan selokan dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang informal sehingga jalan yang telah dibangun oleh
pemerintah nampak padat. Jalan-jalan yang seharusnya digunakan untuk
kepentingan umum menjadi seperti milik
pribadi-pribadi, menjadi tempat anak-anak bermain, orang-orang dewasa
mengobrol, berjualan atau meletakkan barang dan kendaraan.
Sudjatmoko (1983)
misalnya, menyatakan bahwa
pemukiman harus memegang
peranan utama dalam strategi pembangunan nasional, dan bahwa motor pertumbuhan dari pembangunan itu
berpusat pada konstruksi dan
modernisasi pemukiman. Pernyataan Sudjatmoko tersebut akan menjadi
sangat penting dalam mengkaji tetap ada dan tumbuhnya wilayah kampung kumuh
yang telah memperoleh bantuan KIP (Kampung Improvement Program) seperti
yang ada di kota-kota besar di Indonesia. Keberadaan pemukiman kumuh itu
mungkin disebabkan kurang modernnya pembangunan yang dilakukan, atau mungkin
juga karena variabel-variabel lain yang tidak diperhitungkan sebelumnya seperti
pengaturan migrasi ke kota besar yang sukar dikendalikan, atau karena dalam
perhitungan perbaikan kampung tersebut tidak dipikirkan adanya kebudayaan
kemiskinan.
Salah satu bentuk
penanganan kawasan kumuh dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap pandangan
masyarakat miskin berpenghasilan rendah terhadap rumahnya. Mereka diuapayakan
memiliki mindset bahwa perumahan
sebagai kebutuhan dasar dan sekaligus sumber daya modal yang berguna untuk
meningkatkan kehidupan dan penghidupan mereka. Oleh karenya mereka diupayakan
untuk berpartisipasi aktif dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup mereka.
Partisipasi masyarakat
pada peningkatan kualitas lingkungan pemukiman kumuh merupakan hal yang sangat
penting karena dengan melibatkan masyarakat maka manfaat dan keuntungan dari
pembangunan dapat lebih terjamin dalam pemerataan, dan memperkuat kapasitas
masyarakat dalam memobilisasi dirinya.
Sebagai akhir kata mungkin
dapat dikatakan bahwa, kehidupan
ekonomi yang berada dalam sektor informal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
sosial masyarakat miskin penghuni
pemukiman kumuh dan bahwa kesemuanya itu mengacu pada kebudayaan kemiskinan yang merupakan pedoman
bagi kehidupan mereka. Di
antara ciri-ciri kebudayaan kemiskinan yang menjadi model bagi pola kehidupan ekonomi informal adalah
tidak atau kurang efektifnya
partisipasi orang miskin dalam pranata-pranata yang berlaku dalam masyarakat luas, dan karena itu orang
miskin tidak mempunyai akses
untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang tersedia melalui pranata-pranata tersebut. Ternyata kekumuhan
dari pemukiman yang mereka ciptakan yang telah menghasilkan kehidupan ekonomi informal dan begitu juga sebaliknya kehidupan
kumuh mereka itu dikumuhkan lebih
lanjut oleh corak kehidupan ekonomi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar