1.
IDENTIFIKASI
Persebaran kebudayaan Jawa sangat luas, yaitu
meliputi seluruh daerah bagian tengan dan timur dari pulau Jawa. Selain itu ada
beberapa daerah yang secara kolektif disebut daerah Kejawen. Daerah itu diantaranya Banyumas, Kedu, Yogyakarta,
Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Sementara untuk daerah di uar itu
dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.
Sebelum terpecah pada tahun 1755 Yogyakarta dan
Surakarta yang merupakan bekas kerajaan Mataram merupakan daerah pusat
kebudayaan Jawa. Menjadi sesuatu yang wajar jika diantara sekian banyak daerah
tempat tinggal orang Jawa ini terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan
yang bersifat local dalam beberapa unsur-unsur kebudayaannya, seperti perbedaan
mengenai berbagai istilah teknis, dialek bahasa dan lain-lainnya.
Di daerah Yogyakarta sebelah selatan terdapat
kelompok-kelompok masyarakat orang Jawa yang masih mengikuti atau mendukung kebudayaan
Jawa ini. Pada umumnya mereka membentuk kesatyuan-kesatuan hidup setempat yang
menetap di desa-desa.
Di dalam pergaulan hidup maupun perhubungan sosial
sehari-hari mereka berbahasa Jawa, dimana ketika mengucapkannya pun seseorang
harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara
atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya.
Demikian pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari
kriteria tingkatannya, yaitu bahasa Jawa
Ngoko dan Krama.
2. ANGKA-ANGKA
DAN FAKTA-FAKTA DEMOGRAFIS
Berdasarkan sensus 1930 jumah penduduk Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Madura adalah 30.321.000 dengan padat penduduk rata-rata 402 per
; sedangkan ebih dari
30 tahun kemudian, ialah menurut angka-angka sensus 1961, penduduk ketiga
daerah tersebut adaah 42.471.000, dengan padat penduduk rata-rata 567 per .
Ditinjau secara khusus jumlah penduduk Daerah Istimewa
Yogyakarta bagian selatan (Kabupaten Bantul)
pada tahun 1962 yaitu 504.065 orang dan 152 orang diantaranya adaah
orang asing. Jumlah penduduk sebanyak itu terdiri dari 12.472 kepala somah. Dari sekian jumlah penduduk
tersebut, 497.358 orang beragama Islam, 6.300 orang memeuk agama Kristen
Katholik, dan 256 orang menganut agama Kristen Protestan, sedangkan yang 151
orang lainnya mengikuti aliran-aliran kebatinan setempat.
3. BENTUK
DESA
Desa sebagai tempat kediaman yang tetap pada masyarakat orang
Jawa, di daerah pedalaman, adalah suatu wilayah hokum yang sekaligus menjadi
pusat pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Secara administratif desa
langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah Kecamatan dan terdiri dari dukuh-dukuh. Tiap-tiap wilayah bagain
desa ini diketuai oleh seorang kepala
dukuh.
Pada umumnya perumahan penduduk dan tanah-tanah pekarangan orang
Jawa satu sama lain dipisah-pisahkan dengan pagar-pagar bamboo atau
tumbuhan-tumbuhan. Beberapa rumah orang Jawa dilengkapi pula dengan lumbung
padi, terkadang ternak dan perigi, yang dibangun di dekat-dekat rumah atau di
halaman pekarangan. Jalan-jalan desa merupakan penghubung antara dukuh satu
dengan dukuh lainnya, dimana luas dari jalan itu sendiri tidak lebih dari dua
meter.
Selain rumah-rumah penduduk yang tampak berkelompok dan yang
sebagian berjajar menghadap jalan desa, ada pula balai desa, yaitu tempat pemerintahan desa berkumpul atau
mengadakan rapat-rapat desa pada 35 hari sekali. Untuk menampung
kegiatan-kegiatan pendidikan keagamaan dan sosial ekonomi rakyat, biasanya ada
sekolah-sekolah, langgar atau masjid.
Selain itu juga ada pasar yang terlihat ramai hanya pada hari pasaran. Adapun kuburan desa berada di
lingkungan wilayah salah sebuah dukuh, sementara tanah pertanian berupa
sawah-sawah atau lading-ladang terbentang di sekeliling desa.
Berdasarkan bahan dan bentuknya, ada beberapa macam rumah orang
Jawa. Ada rumah yang dibangun memakai kerangka dari bambu, glugu (batang phon nyiur)
atau kayu jati; dinding-dindingnya terbuat dari gedek (anyaman belahan bambu), papan atau tembok, dan atapnya
berupa anyaman daun kelapa kering (blarak),
atau dari genting. Karena rumah tersebut didirikan menurut sistem kerangka
tertentu, sehingga membentuk sebuah bangunan persegi. Bagian dalam rumah,
dibagi-bagi menjadi ruangan-ruangan kecil yang satu sama lain dipisah-pisahkan
dengan gedek yang dapat digeser atau
dipindahkan, dan pintunya berupa pintu seret, sementara jendelanya tidak ada
karena cahaya dan udara dapat masuk melalui celah-celah dinding dan juga lubang
dari atas atap.
Ada beragam sebutan untuk rumah-rumah orang Jawa berdasarkan
bentuk rumah yang ditentukan oleh bangunan atapnya yaitu diantanya, rumah limasan, rumah serotong, rumah joglo,
rumah panggangepe, rumah daragepak, rumah macan njerum, rumah klabang
nyander, rumah tajuk, rumah kutuk ngambang, dan rumah sinom.
Dari sekian macam rumah tersebut rumah limasan yang paling sering ditemui ndan
menjadi tempat kediaman keturunan penetap desa pertama, disamping rumah
seroton. Adapun rumah joglo adalah gambaran rumah bangsawan. Dewasa ini sudah
banyak orang yang membuat rumah dengan memakai bahan bangunan yang sepadan
dengan rumah-rumah orang di kota-kota. Biasanya besar dan gaya atap suatu rumah
menjadi tanda gengsi dan kedudukan sosial.
4. MATA
PENCAHARIAN HIDUP
Sumber penghidupan orang Jawa selain berasal dari
pekerjaan-pekerjaan kepegawaian, pertukangan, dan perdagangan, juga berasal
dari bertani yang merupakan mayoritas dari pekerjaan masyarakatnya ynag ada di
desa-desa. Kebiasaan yang dilakukan masyarakat didalam pekerjaan pertaniannya,
yaitu bagi mereka yang tingga di daerah pegunungan menggarap tanah pertanian
sebagai kebun kering (tegalan) sementara yang tinggal di daerah dataran rendah
mengolah tanahnya sebagai sawah. Selain padi jenis tanaman yang biasanya
dibudidayakan yaitu palawija (seperti ketela pohon, jagung, ketea rambat,
kedelai, kacang tanah, kacang tunggak, gude, dll.) baik sebagai tanaman utama
di tegalan maupun sebagai tanaman penyela di sawah pada waktu musim kemarau.
Dalam mengolah sawah ada beberapa proses yang biasanya dilakukan
oleh orang Jawa, berdasarkan kearifan lokal masyarakat setempat. Misalnya
sebelum ditanami tananam, tanah-tanah itu diolah dengan dibajak, setelah itu
tanah diberi pupuk serta beberapa proses lainnya.
Sistem kepemilikan sawah pada masyarakat Jawa juga berbeda-beda,
diantaranya sawah-sawah milik sendiri yaitu disebut dengan sawah sanggan dan sawah yasan. Pemilik yang kelebihan dapat menjual sawah seperti itu
kepada orang lain. Dalam hal ini dia bisa menjual secara adol tahunan, ialah hanya menyewakan sawahnya untuk satu tahun,
atau secara adol ceplik, ialah
menjual lepas sawahnya.
Tidak sedikit orang di desa yang tidak memiliki tanah pertanian
yang luas, bahkan banyak juga yang samasekali tidak memilikinya. Orang seperti
itu biasanya terpaksa bekerja menjadi
buruh tani, menyewa tanah, bagi hasil, atau menggadai tanah.
Adapun orang yang menyewa tanah, karena ia kaya dapat memberikn
sejumah uangnya kepada orang pemilik sawah yang memerlukan, misalnya untuk satu
masa panen, yang disebut adol oyodan.
Selain sumber penghasilan dari pekerjan pokok bertani, ada pula
beberapa sumber pendapatan dari pekerjaan lain dari usaha-usaha kerja sambilan
membuat makanan tempe kara benguk,
mencetak batu merah, mbotok atau
membuat minyak goreng kelapa, membatik, menganyam tikar, dan menjadi
tukang-tukang kayu, batu atau reparasi sepeda dana pekerjaaan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar